Cerita Pendek Pengagum Rahasia || Cerpen Cinta Dalam Diam

Pemuja Rahasia 

Karya : Rindiana Amavista


Aku berdiri menatap gedung itu. Aku pernah bersekolah di sini beberapa tahun yang lalu. Masa-masa remajaku telah kuhabiskan di sini. Banyak kenangan-kenangan telah kuukir di sini. Ya, termasuk tentang cintaku yang tak berakhir indah.

Jika bagi orang lain masa SMA adalah masa paling terbaik dalam hidup mereka, Maka aku merasakan sebaliknya. Tidak ada cinta putih abu-abu yang bermekaran, yang ada hanyalah keterdiaman dan keteguhan yang menyertaiku kala itu. Dan jika diingat kembali terasa begitu menyakitkan.

Aku menyukai seorang lelaki. Namanya Gavin Lexarno Gideon, ia tampan, ketua tim basket, dan seorang atlet bulutangkis. Dia bukan teman kelasku, penjurusan saja kami berbeda, ia ips dan aku ipa. Aku tidak tahu apa yang membuatku suka padanya. Entahlah, yang kutahu hanya aku menyukainya. Perasaan ini datang tiba-tiba.

Aku selalu memperhatikan Gavin dari jauh. Aku sangat ingin tau dia sedang apa, apakah dia baik-baik saja? Aku sadar, aku tak bisa menggapainya, Dia terlalu jauh untuk ku raih. Aku hanyalah penggemar rahasianya, orang yang hanya bisa memandangi, dan mengagumi seorang Gavin Lexarno Gideon dari jauh.

Walaupun terkadang begitu banyak moment dimana aku bisa dekat dengan Gavin. Tapi tetap saja aku diam dan hanya mencuri-curi pandang padanya. Saat aku berpapasan dengannya aku selalu menundukkan kepalaku, aku sibuk untuk menetralkan detak jantungku yang bergemuruh. Terkadang aku lebih memilih memutar jalan daripada berpapasan dengan Gavin. Lagi-lagi aku menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa menyapa dan melihat wajahnya dari dekat.

Terkadang aku membenci waktu. Waktu mempertemukan kita, dan memisahkan kita. Di saat aku ingin bertemu denganmu, sangat jarang waktu berpihak padaku. Tiap kali aku tak ingin di ganggu siapapun, saat itulah waktu mempertemukan kita.

Bukan.. aku bukan menyalahkan Gavin dan waktu. Sebenarnya, aku menyalahkan diriku yang bodoh dan tetap bertahan menyukainya walaupun aku dan dia tak pernah bertegur sapa. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu tentang dia.

Aku selalu ingat, dulu aku selalu datang ke sekolah pagi sekali, saat sekolah masih terlihat sepi. Biasamya aku pergi ke ruangan tempat loker siswa berada sebelum ke kelas.

              "Hi loker, seperti biasa aku akan menitipkan bekal ini pada pemilikmu yaa"

Aku memastikan bahwa tak ada orang di sekitarku, lalu aku memasukkan bekal yang telah ku buat pagi tadi ke dalam lokernya, tak lupa aku selipkan sebuah puisi di dalamnya.

            "Semoga ia memakannya. Dan loker, terimakasih", ujarku seraya melangkahkan kaki menjauhi ruangan itu.

Selain itu, saat istirahat seringkali aku memerhatikannya dari balkon sekolah. Gavin yang terkadang bermain bulu tangkis di lapangan sekolah, atau bermain basket dengan anggota timnya. Aku juga sering memerhatikan dia di kantin, saat dia olahraga, dan aku juga ingat, dulu aku sering berlalu-lalang di koridor kelasnya untuk sekedar dapat melihat wajahnya, entahlah sepertinya masih banyak lagi. Aku tidak tau apa Gavin menyadari bahwa ada seorang gadis yang selalu memperhatikannya dalam diam.

Rasi, Cantika, Rinelora, Anaya, dan Agatha. Mereka adalah sahabatku. Tempatku berkeluh kesah tentang Gavin, mereka yang selalu mendukungku. Saat ini kami sedang di kantin, duduk sekaligus bercerita, berbagi canda tawa.

          "Eh Rin, gimana sama Gavin? Ada perkembangan ga nih?", tanya Anaya, ditengah percakapan kami.

            "Ya gitulah, masih kaya kemarin-kemarin", jawabku seadanya.

           "Jangan patah semangat ya Rin! kamu itu cantik, pinter, pasti bisa dapet yang lebih dari Gavin", ujar Anaya memberiku semangat.

          "Eh eh liat deh anak basket lagi tanding woii!! Rin, Rin itu ada Gavin!", ucap Agatha sedikit memekik.

Sontak akupun menoleh ke arah lapangan, yang memang berada persis di samping kantin. Terlihatlah Gavin yang gagah dan keren sedang menggiring bola basket kesana kemari, memberi intruksi pada anggota timnya, sungguh aku selalu semangat melihat Gavin bermain.

             "Biasa aja kali Rin liatinnya", ejek Cantika padaku.

          "Apasih Cann, ihh malu tauu", aku menjawab lalu tertawa sembari diikuti gelak tawa sahabat-sahabatku.

Namun, satu yang kusadari, Rasi dari tadi tidak berbicara sama sekali, bahkan ia tidak tertawa, matanya pun fokus ke depan. Aku berhenti tertawa dan mengikuti arah pandangnya, dan ya! Aku menemukannya. Rasi tengah menatap Gavin dengan pandangan menerawang, entahlah perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak.

        "Woi, Rin! Kenapa bengong? Ayo balik kelas, udah bel nih. Itu anak basket juga mau bubar", ucap Rinelora.

          "Loh udah bel masa Ra?”, ujarku spontan sambil membelalakkan mata.

          “Yaudah deh ayo"

Hari terus berlalu, bulan terus berganti, akhirnya satu tahun telah berlalu begitu saja, dengan aku yang hanya bisa berharap segala hal tentang Gavin, dengan aku yang tetap menjalani rutinitasku menjadi seorang pengagum. Tidak ada yang istimewa, aku tetap bersama sahabatku, walau kini kami berbeda kelas. Aku tetap Rindiana Amavista sang peraih ranking 1 paralel, dan tentunya aku tetap menjadi seorang pengagum rahasia seorang Gavin Lexarno Gideon.

          "Rindii!! Rindii!! Ayo nak cepatt, hampir telat inii!", teriak mama membuyarkan lamunanku kala itu.

           "Iyaa maa sebentar, tinggal pakai liptint", jawabku sembari menyempurnakan penampilanku.

Aku baru sadar bahwa tadi  mama mengajakku untuk menghadiri pesta pernikahan. Kata mama, ini pernikahan salah satu keluarga mama. Aku tak tau keluarga yang mana, karena aku memang sangat jarang ikut berkumpul keluarga, jadi ya meski keluarga terkadang ada yang belum aku kenal.

Di pesta, aku diperkenalkan oleh mama ke banyak orang, aku sampai pusing sendiri. Tapi ada satu yang menarik perhatianku, di depan sana ada Gavin, ya Gavin Lexarno Gideon.

           "Loh itu bukannya Gavin? Kira-kira untuk apa ya dia disana?", gumamku kala itu.

Namun lagi-lagi aku dikejutkan oleh suara mama, aku yakin pasti mama akan mengenalkanku pada orang-orang lagi, huft.

          "Rindi, kenalin dia tante Anggi. Anggi ini anakku namanya Rindi, dia sekarang kelas 12 SMA", ucap mama.

            "Wah, kalau gitu sama dong kayak Deon, anak tante juga seumuran kamu loh ndi", ucap tante Anggi dengan semangat.

           "Dek! Deon! Sini dek, kenalan sama sepupu kamu!", panggil tante Anggi pada anaknya.

Eh, tapi sebentar, kenapa Gavin yang berjalan kesini?

          "Nah, Rindi. Ini anak tante namanya Deon, Deon ini Rindi sepupu kamu. Ternyata kalian seumuran lohh", ujar tante Anggi dengan antusias.

Deg! Kakiku lemas, kalimat itu seolah mematahkan harapan-harapan yang kupunya.

         "Gavin Lexarno Gideon, panggil Gavin aja", ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Iya, dia Gavin, nama yang sudah kuhafal diluar kepala. "Rindi, Rindiana Amavista", jawabku seraya mengulurkan tanganku yang terasa lemas ini.       

Pagi ini, di hari minggu, aku mendapatkan sebuah duka. Pagi yang cerah terasa sangat gelap bagiku. Pesta yang meriah terasa sunyi, hatiku sesak.

Sehari setelahnya, aku mendapat kabar yang tidak kalah mengejutkannya. Pagi itu saat aku baru memasuki kelas, Agatha, Anaya, Cantika, dan Rinelora langsung menarikku ke koridor yang lumayan sepi.

        "Kenapa sih kalian?", heranku pada mereka

        "Rin, sumpah kami semua ga nyangka, kami baru tau Rin", ucap Anaya dengan terburu-buru.

        "Jangan kaget ya Rin, jangan patah semangat", sambung Rinelora.

        "Kenapa? Aku bingungg sumpah", ucapku dengan mengerinyitkan dahi.

        "Jadi, ternyata Gavin memiliki pacar Rin", jelas Agatha.

Aku kaget, aku bahkan sempat terdim beberapa saat, pikiranku kosong, hatiku sesak untuk kesekian kalinya. Takdir macam apa ini? Setelah kemarin, sekarang kudengar berita yang sama buruknya, Tuhan apa yang sedang kau rencanakan bagiku? Namun aku segera tersadar dan kembali meneguhkan hatiku.

           "Oh punya pacar ya? Gapapa gat, itu pilihan Gavin, aku gak berhak mengaturnya. Aku bukan siapa-siapa", aku mencoba tersenyum agar mereka tidak mengkhawatirkan aku.

           "Tapi Rin, ini bedaa, pacarnya Gavin ternyata Rasi Rin! Rasi, sahabat kita! Sahabat kamuu!!", ujar Cantika berapi-api.

Jelas, aku sangat terkejut, untuk kedua kalinya kakiku rasanya lemas tak bertulang, badanku terasa tak memijak apapun. Otakku kini memutar kenangan-kenanganku dengan Rasi, aku tak menyangka, Rasi sahabat sejak aku kecil kini seolah menusukku dari belakang.

Dadaku sesak, sangat sesak, ini lebih menyakitkan dari kejadian dimana aku tau bahwa Gavin adalah sepupuku. Lagi, aku merasa takdir sedang mempermainkanku.

          “Rasi? Dari kapan?”, Tanyaku dengan lirih.

          “Setengah tahun yang lalu Rin”, Jawab Anaya.

Kenapa? Kenapa Rasi? Kenapa dia harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Kalau ia bilang padaku, aku pasti mendukungnya. Kenapa Rasi seolah menusukku dari belakang? Ia mendukungku tapi nyatanya? Apa Rasi sudah tidak menganggap aku sahabatnya lagi?

Aku kembali tersadar dari lamunanku saat mereka berempat tiba-tiba memelukku, memberikanku semangat. Aku membalas pelukan mereka. Saat ini aku memilih berhenti, menghentikan seluruh anganku akan seorang Gavin Lexarno Gideon. Membiarkannya bahagia, walau bahagia dengan sahabatku sendiri.

Mungkin memang ini akhir yang harus aku dapat, akhir dari aku yang menjadi seorang pengagum rahasia dari seorang Gavin, sepupu sekaligus pacar dari sahabatku sendiri, Rasi.

Mulai saat ini, aku harus membesarkan hati menerima apa yang terjadi, aku sadar ini garis takdir yang diberikan tuhan, dan aku sebagai umatnya hanya bisa menerima. Karena aku percaya, tuhan tau mana yang terbaik untuk umatnya.

Aku tersadar dari lamunan tentang masa-masa SMA yang kujalani di gedung ini, kenangan yang selalu aku ingat sampai saat ini. Dari kejadian itu, aku bangkit. Timbul motivasi diri untuk bisa menjadi Rindi yang lebih dan fokus untuk belajar tanpa pusing memikirkan tentang cinta. Hingga kini aku berhasi, aku telah berhasil mendapat gelar di belakang namaku. Rindiana Amavista, B.Sc.

    "RINNN!! kangenn", teriak Cantika, Agatha, Anaya, dan Rinelora sembari berhamburan memelukku.

          "Samaa, ah gilaa, aku kangen banget sama kaliann", jawabku dengan membalas pelukan mereka.

      "Kalian lama banget sih, aku sampai selesai mengenang kenangan-kenangan yang ku ukir di sekolah ini", protesku pada mereka.

       "Aduhh rinn, yang abis pulang dari luar negeri, tepat waktu banget ya", jawab Anaya sambil tertawa.

          "Udah ah, yuk masuk. Kangen guru-guru ni aku hahahaha", ajakku pada mereka.

Kami memang sengaja berkumpul di sekolah, reuni keci-kecilan setelah aku kembali ke Indonesia, hitung-hitung silaturahmi dengan guru-guru kami dulu. Oh iya, masalah Rasi, aku tidak tau dia dimana sekarang, bagaimana hubungannya dengan Gavin. Rasi seolah menjauh dari kami. Tapi yasudahlah, itu cerita lama, karena lebih baik aku mengukir cerita-cerita baru tentang hidupku.

Dan untuk kalian yang gagal dalam urusan percintaan, jangan patah semangat! Mungkin itu cara tuhan agar kalian bisa fokus pada hal lain dan dapat meraih sesuatu yang lebih. Semangatt!


 

 

Posting Komentar

0 Komentar